Peringatan Hari Perempuan : Perempuan Dalam Politik

Hari Perempuan Internasional Kiprah perempuan dalam politik di Indonesia tentunya memiliki andil yang cukup besar, gerakan yang dulu mulai dibentuk salah satunya pada tahun 1915 Pawijatan Wanito di Magelang adalah salah satu goresan perempuan untuk berdaya dari lingkup terkecil setelah Boedi Utomo memperjuangkan organisasi Putri Merdika tepatnya di Jakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mendidik anak-anak perempuan untuk dapat mempelajari ilmu maupun pengetahuan secara luas yang termasuk salah satu bentuk cita-cita Kartini bagi kaum perempuan. Tak hanya di Jawa saja organisasi pendidikan dan kegiatan pemajuan perempuan, seperti di Minangkabau “Kaoetaman Istri Minangkabau”. Gerakan seperti ini awalnya bertujuan untuk melatih kecakapan perempuan dalam rumah tangga dan mempererat hubungan silaturahmi antar anggota. Namun seiring waktu, baik visi maupun orientasi semakin meluas untuk masuk ke ranah politik. Budaya patriarki yang melenggang selama ini membatasi gerak perempuan sebab dianggap tak mampu, tak layak atau tak penting. Banyaknya organisasi perempuan yang ada, maka setiap organisasi politik juga membentuk bagian khusus wanita untuk menampung partisipasi dan aspirasinya. Walau tak semua organisasi yang ada bersinggungan dengan politik, mereka yang memilih untuk terjun dalam politik mulai banyak mengecam tindakan kolonial mulai tahun 1933 yakni Mardi Wanita. Kelompok ini cukup banyak memiliki jejaring sebab memiliki cabang di daerah-daerah lain terutama di Jawa Tengah kemudian mengganti namanya menjadi Persatuan Marhaen Indonesia, tetapi tak lama berselang organisasi ini masuk dalam kategori terlarang dan ketua organisasi S.K Trimurti dimasukkan ke dalam penjara. Di masa orde lama, tak hanya atas nama organisasi saja perempuan berkiprah tetapi juga atas nama individu sebab mulai maju melalui partai politik seperti Partai Nasional Indonesia dengan tokoh perempuan Supeni dan Kartini Kartaradjasa kemudian Walandaw di Partai Kristen Indonesia. Masa sulit bagi pergerakan perempuan dimulai lagi ketika transisi orde lama menuju orde baru sebab gerak perempuan dibatasi dan diawasi bahkan oleh pemerintah. Gerakan perempuan di desain untuk tetap berada pada kegiatan bersifat domestik saja, mengurus rumah tangga, mendidik anak supaya menjadi generasi cerdas, bahkan ketika bekerja perempuan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Termasuk dalam organisasi istri pegawai negeri Dharma Wanita, Bhayangkara untuk Polisi dan Persit sebagai Persatuan Istri Tentara yang dalam programnya mendidik para perempuan untuk dominan mengurus rumah tangga saja. Dobrakan dimulai pada tahun 1980 ketika organisasi perempuan mencoba menghidupkan kembali dan keluar dari konstruksi sosial rumusan orde baru, beberapa diantaranya adalah Yayasan Annnisa Swasti di Yogyakarta dan Yayasan Kalyamitra di Jakarta dengan relasi jejaring yang luas salah satunya Yayasan Solidaritas Perempuan dan Rifka Annisa yang berjuang untuk memberi pendidikan dan menyebarluaskan kesetaraan gender pada perempuan. Di era reformasi, organisasi perempuan mulai mendapat tempat untuk ruang geraknya. Dan berinovasi untuk memberi bantuan dalam berbagai bentuk, seperti hotline untuk dihubungi dan mediasi terhadap kasus perempuan. Ranah publik dan politik juga disasar lebih luas dengan memasuki berbagai parpol lainnya mulai dari Golkar, PAN, dan lain-lain. Pemerintah juga mulai menempatkan gender sebagai prioritas kebijakan terbukti pada Impres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang dirancang melalui pendekatan dan perspektif gender. Tetapi hal ini tak berjalan dengan mudah sebab untuk masuk ke dalam perumus kebijakan perlu melalui pintu parpol. Sedangkan tak semua partai politik memilik keberpihakan terhadap perempuan, seperti pemilihan jam rapat atau pertemuan yang dilakukan pada malam hari sehingga perempuan akan terbebani dengan pekerjaan rumah yang masih banyak dilakukan sendiri. Hal ini mencerminkan ketidakpuasan pada ambang batas 30% kursi untuk perempuan di legislative, angka ini tentu sulit dicapai jika partai masih tertutup pada kesempatan perempuan untuk bersuara untuk mewakili perempuan dalam kebijakan. Hingga saat ini, ketidaksetaraan gender belum terlihat melesat secara signifikan sebab konstruksi dan keterbatasan yang dibuat memang sengaja untuk menyulitkan perempuan dapat mengaktualisasikan diri. Namun ke depannya, akan selalu ada harapan untuk kita mengejar hak dan kesetaraan sebagai perempuan. Sekali lagi, Selamat Hari Perempuan Internasional! Sumber referensi : http://www.politik.lipi.go.id/kolom/296-kiprah-perempuan-di-ranah-politik-dari-masa-ke-masa https://wawasansejarah.com/organisasi-wanita-indonesia/

Komentar